Indonesia.go.id - Berburu Kembang Kol di Antara Angin Basah

Berburu Kembang Kol di Antara Angin Basah

  • Administrator
  • Rabu, 31 Juli 2019 | 04:14 WIB
HUJAN BUATAN
  Pesawat CN 295 menyebar inti kondensasi di udara. Foto: Istimewa

Operasi hujan buatan disiagakan untuk kurangi dampak kemarau. Keberhasilannya tergantung ketersediaan awan cumulus dan angin yang lembab. Hujan buatan juga bisa membasuh udara tercemar dan menekan risiko banjir.

Sebuah pesawat CN-295 bersiaga di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta. Kru, tim ahli, dan pelaksana teknispun selalu siap. Begitu ada perintah bergerak, tak perlu lagi persiapan panjang.  Tinggal masukkan bahan logistik ke kabin, dan truk angkasa itu akan melesat terbang ke sasaran yang telah ditentukan

Adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) yang berinisiatif menggelar operasi “hujan buatan” ini, bekerja sama dengan lembaga mitranya: BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), TNI, dan unsur lainnya. Langkah konkret itu dilakukan sebagai tindak lanjut rapat kordinasi di Jakarta, pada Senin (22/7/2019), yang mendesak aksi segera untuk membantu daerah kekeringan di tengah kemarau ekstrem 2019 ini.

Maka, akan dilakukan aksi modifikasi cuaca hujan buatan di daerah yang mengalami kekeringan, mulai dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, hingga NTT. Tapi, untuk tahan pertama ini, aksi dimulai  dari Jakarta dan Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT).  Sebuah pesawat Casa-212 pun telah dikirim untuk beroperasi di Kupang.

Meski segala logistik dan personel telah tersedia, tak berarti operasi modifikasi cuaca itu bisa dilakukan setiap hari. Operasi hujan buatan itu juga memerlukan  syarat adanya kondisi cuaca yang sesuai. Yakni, adanya gerakan angin pada ketinggian sekitar 4.000 – 7.000 kaki (1,300 – 2.300 m) yang cukup basah dengan kelembaban relatif di atas 70%, dan adanya bibit awan cumulus yang bisa disemaikan menjadi awan besar.

Untuk memonitor cuaca itu awak dari BMKG dan BPPT aktif dilibatkan. Pemantauan dilakukan dengan mempelajari foto-foto satelit, radar penerbangan, dan pengamatan langsung dengan instrumen cuaca serta observasi visual. Sampai  beberapa hari operasi digelar, kondisi cuaca belum mendukung. Masih terlalu kering.

Jika terpantau kondisi cukup  basah, dan ada gerakan angin yang membawa sederetan awan kumulus  yang bentuknya mirip kembang kol, menuju sasaran pembasahan, maka aksi pun dilakukan. Pesawat harus terbang secara dini, sehingga pada jam 7 pagi sudah mencapai deretan awan yang berada di ketinggian 1.300-2.300 meter. Awan pada dasarnya adalah uap air yang rapat sehingga mirip kabut.

Pada puncak awan kemudian ditebarkan bubuk glasiogenik yang  merangsang terbentuknya kristal es. Zat glasiogenik itu biasanya berupa Perak-Iodida bercampur es kering (CO2 padat dengan suhu sangat rendah) akan menjadi inti-kondensasi. Uap air tak saja mengebun, bahkan langsung menjadi kristal es yang membuat atap awan menjadi dingin. Adapun panas yang  muncul akibat perubahan dari uap air menjadi embun bahkan es, akan keluar dari sistem awan bersama massa udara yang menyerap kalornya.

Dalam beberapa jam, proses fisik akan berlanjut. Suasana dingin dan keberadaan perak-iodida terus merangsang pembentukan butir-butir air dalam ukuran mikro. Awan akan semakin pekat dan lebar.

Pada saat itulah tim modifikasi cuaca yang diawasi oleh ahli dari BPPT melanjutkan operasinya. Sorti keduanya, pesawat menyebarkan butiran garam dan pupuk urea halus, dengan ukuran butirannya 10 - 50 mikro meter. Butiran bahan hidroskopis (penyerap air) ini akan menjadi tambahan inti kondensasi yang membuat awan makin padat dan semakin besar.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1564590307_Larutan_garam.jpg" />

Larutan garam dan urea diangkut ke dalam pesawat. Foto: Istimewa

Penggunaan urea itu diperlukan. Pasalnya, jika hanya garam halus yang ditebar, meski terjadi proses kondensasi tapi ada dampak panas yang muncul. Reaksi air dengan  garam akan menghasilkan reaksi  eksotermik berupa pelepasan kalor. Sebaliknya, reaksi urea memberikan efek endotermik, menyerap panas. Dengan demikian, campuran garam dan urea itu dimaksudkan untuk menetralkan efek panas. Pada tahap ini, awan akan semakin besar, padat, dan menghitam.

Beberapa jam berikutnya, semakin dekat awan dengan daerah sasaran, tim akan kembali terbang lantas menyemburkan larutan berisi air, urea, dan garam, dengan perbandingan 4:3:1. Proses konsensasi pun berlanjut dan diikuti adanya proses tumbukan dan penggabungan, karena dalam sistem awan itu massa udara yang bercampur uap air bergolak seperti diaduk. Butiran-butiran air menjadi lebih besar, lebih berat, jenuh dan akhirnya jatuh sebagai butiran hujan,

Memang, lebih mudah melakukan modifikasi cuaca itu di awal atau akhir musim hujan, ketika angin masih lembab dan bibit-bibit kumulus mudah ditemukan. Pada akhir musim basah, tambahan hujan itu sangat bermanfaat untuk mengisi air tanah, air sungai, atau air bendungan. Beggitu halnya di awal musim hujan, air hujan bisa berguna untuk mengakhiri musim kemarau lebih cepat.

Melakukan modifikasi cuaca di tengah kemarau cukup sulit. Tim modifikasii cuaca, gabungan dari BNPB, BMKG, BPPT, TNI dan unsur lain, pada pekan keempat Juli 2019, harus menunggu saat yang tepat untuk beraksi. Peluang keberhasilannya juga tidak terlalu besar.

Indonesia sendiri telah lebih 40 tahun mengembangkan teknologi modifikasi cuaca ini. Sejak awal bahan kimia yang digunan tidak berubah, sekitar urea, garam, dan perak-Iodida, karena bahan itu relatif murah.  Yang berkembang adalah metode tentang pengolahan bahan, semisal agar urea dan garam tak mudah menggumpal setelah digiling, juga teknik penebaran bahan tersebut di awal. Sejak saat itu ada laporan tentang keberhasilannya sehingga teknik modifikasi itu terus dipraktekkan.

Bukan hanya untuk mendatangkan air. Hujan buatan itu pun diperlukan untuk membersihkan udara yang tercemar akibat kegiatan industri, akibat knalpot, atau kebakaran hutan. Bukan pula hanya di saat kering, tapi juga di musim hujan, untuk menghindarkan daerah yang sudah kelewat basah menjadi tergenang.

Pada awal 2013 dan 2014, Gubernur DKI Jakarta, ketika itu Joko Widodo, meminta bantuan tim BPPT, untuk menggelar operasi modifikasi cuaca demi mengurangi curah hujan di DKI. Ketika itu Jakarta sudah kerepotan dengan hujan deras yang terus mengguyur DKI, Bogor, Depok, dan sekitarnya. Sungai-sungai penuh, air hujan sulit menghilir, dan berpotensi menimbulkan genangan.

Operasi hujan buatan digelar, meski hasilnya tak disampaikan ke publik secara lengkap. (P-1)